Download versi PDF
A. Pembangunan yang Gagal
Benarkah pembangunan yang dilaksanakan selama ini mengalami kegagalan?
Bukankah pemerintah pernah menyatakan pembangunan berhasil membawa
Indonesia pada posisi sejajar dengan negara-negara maju dengan menjadi
anggota G20? Keberhasilan tersebut ditopang oleh keberhasilan Indonesia
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga melesatkan nilai
produk domestik bruto dan tingkat pendapatan perkapita.
Di tengah klaim keberhasilan tersebut, tidak sedikit yang bersikap
kritis dan justru berkata sebaliknya; “gagal”. Sofian Effendi dari Forum
Rektor menyatakan: “Negara kita sudah dekat menjadi negara gagal dan
kalau tidak diperbaiki pemerintah, pada tahun akan datang menjadi negara
gagal.”[1]
Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian mengatakan: “Setelah enam tahun
di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang ada
sejumlah prestasi. Tapi, di bidang yang teramat penting, menyangkut
kesejahteraan rakyat. Pemerintah ini telah gagal. Untuk menutupi
kegagalan ini maka banyak terjadi kebohongan-kebohongan.”[2]
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengatakan: “Mereka
bilang Indonesia bakal menjadi negara gagal. Indikatornya antara lain
kalau terjadi kleptokrasi (semua cabang kekuasaan terjadi korupsi), ada
pertarungan horizontal, kepercayaan daerah kepada pusat kurang, dan
kepercayaan rakyat kepada pemimpin mulai hilang.”[3]
Banyak cara untuk melihat apakah pembangunan di Indonesia gagal atau
tidak. Salah satunya adalah masalah kesejahteraan. Jika pemerintah
menyatakan berhasil meningkatkan kesejahteraan umat dengan naiknya
pendapatan perkapita, maka dari sisi realitas justru umat ditimpa
berbagai kesulitan hidup dan kemiskinan tidak dapat dientaskan. Jika
pemerintah menyatakan berhasil menurunkan rasio hutang terhadap PDB,
maka dari sisi realitas justru beban cicilan hutang semakin bertambah
sedangkan jumlah hutang tidak pernah berkurang.
Dengan demikian tidak sulit untuk melihat dan menemukan kegagalan
pembangunan. Hal yang penting untuk didiskusikan adalah apa yang
sesungguhnya menjadi penyebab kegagalan pembangunan? Apa yang membuat
negeri kita yang telah memiliki kesempatan sejak diraihnya kemerdekaan
tidak mampu menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang
dimiliki untuk menyejahterakan umat?
C. Kesalahan Model Pembangunan
Kegagalan pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang adil
bagi umat tentu tidak lepas dari kesalahan model pembangunan yang
diadopsi. Kami mencatat tiga masalah utama model pembangunan yang
menjadi faktor kunci kegagalan.
C.1. Pertama, pembangunan yang menciptakan ketergantungan
Ketergantungan pembangunan pada faktor luar negeri menyebabkan definisi,
tujuan, undang-undang, dan pilihan kebijakan dalam pembangunan tidak
ditentukan secara mandiri. Padahal kemandirian saja tidak cukup dalam
pembangunan tetapi harus disertai dengan konsep dan sistem yang benar,
apalagi bila kemandirian tidak dimiliki.
Ketergantungan berarti menempatkan faktor luar negeri yang menjadi
perancang sebenarnya pembangunan. Model kertegantungan pembangunan ini
merupakan sebuah evolusi penjajahan Barat sebagaimana yang ditulis oleh
Menlu AS (1953-59) John Foster Dulles dalam bukunya War or Peace.[4]
Menurut Dulles, Barat harus memberikan kemerdekaan pada 700 juta
penduduk yang hidup dalam kolonialismenya jika ingin mempertahankan
dominasinya. Tentu saja kemerdekaan tidak diberikan secara cuma-cuma
melainkan disertai dengan syarat yang tetap mendudukkan wilayah tersebut
dalam cengkramannya.
Aburrahman al-Maliki menjelaskan paska Perang Dunia II Barat menciptakan
taktik baru penjajahan (neo-imperialisme) dengan cara mengikat
negara-negara yang diberi kemerdekaan dengan hutang dan bantuan
pembangunan.[5] Taqiyuddin an-Nabhani dalam Konsepsi Politik Hizbut
Tahrir[6] menerangkan bahwasanya penjajahan tidak hanya berwujud
pendudukan dengan jalan militer tetapi juga mencakup skala yang lebih
luas. Menurut an-Nabhani, penjajahan merupakan pemaksaan dominasi
politik, militer, budaya dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai
untuk dieksploitasi.
Terkait evolusi penjajahan Barat dengan taktik baru bernama pembangunan
dan bantuan hutang, maka negeri kita tidak lepas dari perhatian negara
penjajah khususnya Amerika Serikat. Ketergantungan pembangunan Indonesia
terhadap konsep, hutang, investasi, dan suvervisi asing merupakan
sebuah rekayasa negara imperialis.
Kelahiran rezim Orde Baru tidak lepas dari strategi AS untuk memblok
pengaruh Uni Sovyet di Asia Tenggara dan menguras sumber daya alam yang
dimiliki Indonesia. Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green dalam
laporannya kepada Presiden Lyndon Johnson pada 12 Oktober 1967
menyebutkan Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam; minyak,
mineral, kayu, perikanan, yang harus dibantu oleh AS khususnya untuk
menolong pemerintahan Orde Baru membangun stabilitas. AS berkepentingan
untuk perekonomian Indonesia ke arah ekonomi pasar.[7]
Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns (2010)[8] menceritakan
kepergian Menlu Adam Malik pada akhir September 1966 untuk meminta
bantuan AS. Tidak lama kemudian, Menko Perekonomian Sultan
Hamengkubuwana IX menyusul untuk menghadiri pertemuan tahunan IMF dan
Bank Dunia. Misi Adam Malik pada waktu itu adalah bertemu dengan
petinggi CIA, Depertemen Pertahanan, DPR dan Senat AS, serta Presiden
Lyndon Johnson. Menurut Simpson, pemerintah Johnson memandang Adam Malik
sebagai petinggi Orde Baru yang harus dipertahankan tapi memiliki basis
sosial-politik yang lemah di Indonesia. Untuk itu kepulangan Adam Malik
harus disertai keberhasilannya membawa bantuan AS kepada Indonesia.
Di samping memasukkan Indonesia ke dalam perangkap hutang AS, juga
ditempuh jalan masuknya korporasi AS untuk mengeksploitasi sumber daya
alam. Simpsons menyebutkan AS memiliki pengaruh sangat besar dalam
merancang undang-undang penanaman modal asing. Undang-undang tersebut
disusun Kepala Bappenas Widjojo Nitisastro di bawah arahan AS dengan
acuan “liberalisasi maksimum”. Pada waktu itu, undang-undang inilah yang
menjadi jalan masuknya Freeport ke Indonesia untuk mengeksploitasi emas
dan tembaga di Papua.[9]
C. 2. Kedua, pembangunan yang bertumpu pada politik pertumbuhan
Sudah menjadi persepsi umum bahwa pembangunan ekonomi mendorong
pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pertumbuhan ekonomi mendorong
tercapainya pembangunan ekonomi. Model pembangunan yang bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi ini merupakan dasar politik pembangunan ekonomi
Indonesia.
Model politik pertumbuhan menempatkan persepsi kesejahteraan dan
kemakmuran hanya dapat dicapai manakala perekonomian didorong untuk
menghasilkan output kegiatan ekonomi yang tumbuh lebih besar setiap
tahunnya. Pertumbuhan tersebut digambarkan oleh pertambahan nilai produk
domestik bruto (PDB). Dengan perekonomian yang tumbuh, maka
pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi dan dituntaskan, begitulah
logikanya.
Model ini memiliki kekeliruan yang mendasar. Menurut an-Nabhani dalam
bukunya Sistem Ekonomi Islam, politik pertumbuhan menitikberatkan pada
pemenuhan kebutuhan manusia secara kolektif bukan pemenuhan kebutuhan
setiap individu. Praktisnya politik pertumbuhan fokus pada aspek materi
yakni output yang dapat dihasilkan perekonomian. Sebaliknya, politik
pertumbuhan tidak fokus pada manusia sebagai mahluk yang harus dijamin
pemenuhan kebutuhan dasarnya. Dengan kata lain politik pertumbuhan hanya
mementingkan benda yang dihasilkan bukan manusianya.
Dari politik pertumbuhan inilah kemudian diciptakan pendapatan
perkapita[10] sebagai ukuran umum tingkat kesejahteraan masyarakat.
Secara teknis, pertumbuhan ekonomi terjadi karena peningkatan nilai PDB
setiap tahunnya yang mendorong kenaikan pendapatan perkapita.
Permasalahannya, benarkah pendapatan perkapita mencerminkan tingkat
kesejahteraan masyarakat?
Pada tahun 2011 produk domestik bruto Indonesia mencapai Rp7.427,1
trilyun tumbuh 6,5% dari tahun 2010. Dengan demikian pendapatan
perkapita Indonesia naik dari Rp27,1 juta pada tahun 2010 menjadi Rp30,8
juta untuk tahun 2011.[11] Data tersebut menunjukkan pendapatan
perkapita Indonesia perbulannya mencapai Rp2,56 juta. Sebuah angka yang
cukup fantastis tentunya.
Namun sekali lagi kami tanyakan, benarkah angka pendapatan perkapita
tersebut mencerminkan kondisi riil pendapatan rata-rata masyarakat? Yang
kita lihat di tengah-tengah masyarakat justru mereka menghadapi
kehidupan yang semakin sulit meski pemerintah membanggakan naiknya
pendapatan perkapita dan turunnya angka kemiskinan menjadi 12,36% atau
29,89 juta jiwa pada tahun 2011.[12]
Dengan menggunakan data BPS sendiri, kami menemukan perbedaan cukup jauh
antara tingkat pendapatan perkapita dengan pengeluaran rata-rata
perkapita. Memang secara rasional tidak mesti seluruh pendapatan
dihabiskan, sebagian bisa disimpan dan sebagian lagi dapat
diinvestasikan. Masalahnya adalah perbedaan yang cukup jauh di antara
kedua indikator tersebut sedangkan kesejahteraan belum dapat dirasakan
oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Data BPS menunjukkan tahun 2011 pengeluaran rata-rata perkapita penduduk
Indonesia mencapai Rp593 ribu.[13] Berarti ada selisih antara
pendapatan perkapita dengan pengeluaran rata-rata perkapita sebesar
Rp1,97 juta. Dalam formulasi almarhum Profesor Mubyarto,[14] selisih
tersebut dapat diindikasikan sebagai penghisapan ekonomi.
Berdasarkan formulasi tersebut, maka derajat penghisapan ekonomi
Indonesia untuk tahun 2011 mencapai 76,95%. Artinya dari Rp7.427 trilyun
produk domestik bruto yang dihasilkan Indonesia pada tahun 2011, 76,95%
dinikmati oleh asing dan sekelompok kecil pemilik modal. Sisanya hanya
22,05% dari nilai PDB yang dinikmati oleh 240 juta jiwa penduduk
Indonesia. Inilah gambaran yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah
membanggakan kinerja pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi tetapi tidak dirasakan masyarakat. Sebab yang menikmati
pertumbuhan ekonomi adalah asing dan pemilik modal
Kerangka berpikir ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa
Kalimantan, Aceh, Riau, dan Papua yang notabene daerah kaya sumber daya
alam tetapi tertinggal. Teori ekonomi Barat menyebut permasalahan yang
menimpa daerah-daerah tersebut sebagai “Kutukan Sumber Daya Alam”[15]
padahal yang sesungguhnya terjadi adalah “penghisapan ekonomi”. Kami
memilih sebutan untuk kondisi di daerah kaya SDA tersebut sebagai akibat
“Kutukan Globalisasi dan Liberalisasi”.
Politik pertumbuhan juga terbukti tidak dapat menghilangkan kemiskinan
di Indonesia meski telah meraih kemerdekaan selama hampir 67 tahun.
Pembangunan yang “digadang-gadang” rezim Orde Baru akan mencapai tahapan
tinggal landas dan akan menghapus kemiskinan justru berujung krisis
moneter dan krisis ekonomi. Krisis tersebut terjadi akibat penumpukan
hutang pemerintah dan hutang luar negeri swasta. Sedangkan kinerja
pembangunan yang “dibangga-banggakan” pemerintahan berada dalam posisi
rentan terhadap krisis dan tidak dapat menghapuskan kemiskinan.
Menurut pemerintah angka kemiskinan terus menurun dari 23,4% pada tahun
1999[16] dan 16,58% pada tahun 2007[17] menjadi 12,35% pada tahun 2011.
Permasalahannya, turunnya tingkat kemiskinan versi pemerintah tersebut
disebabkan oleh rendahnya standar garis kemiskinan yang digunakan. Pada
tahun 2011 standar garis kemiskinan nasional sebesar Rp243.729,-.[18]
Artinya penduduk yang miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran
rata-rata perbulan di bawah Rp243.729,- atau perharinya di bawah
Rp8.124,-. Jika pengeluaran rata-rata seseorang setiap harinya naik
sebesar dua ratus rupiah dari Rp8.000,- menjadi Rp8.200,-, maka oleh
pemerintah, orang tersebut tidak dikatagorikan sebagai orang miskin. Ini
jelas sangat tidak rasional.
Kita tentu masih ingat pada tahun 2005 kebijakan pemerintah menaikkan
harga BBM didukung oleh hasil penelitian LPEM UI yang berjudul “Kajian
Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan”. Sebagaimana
dijelaskan penelitinya Mohamad Ikhsan, alasan utama kenaikan harga BBM
akan menurunkan angka kemiskinan jika kelompok termiskin mendapatkan
kompensasi yang jumlahnya jauh lebih besar dari kebutuhan untuk
mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama sebelum kenaikan harga
BBM. Menurut hitungan penelitian tersebut, dengan menggunakan kompensasi
raskin saja senilai Rp36ribu perbulan (setelah dikurangi harga
pembelian) sudah dapat mempertahankan kesejahteraan masyarakat dari
dampak kenaikan harga BBM, apalagi ditambah dengan kompensasi BLT
sebesar Rp100ribu perbulan perkeluarga.[19]
Dari sisi teknis perhitungan mungkin saja penelitian LPEM UI tersebut
benar. Sebab paradigma pengurangan kemiskinannya adalah dengan
mengangkat pengeluaran perkapita warga miskin di atas garis kemiskinan
tahun 2005 sebesar Rp129.108,- ditambah penyesuaian inflasi yang mungkin
terjadi. Makna kompensasi BBM Rp100 ribu per bulan akan mengurangi
kemiskinan adalah menakala angka Rp100ribu setelah dibagi jumlah
keluarga (misal 4 anggota keluarga) sehingga jika pengeluaran perkapita
sebelumnya dalam sebuah keluarga Rp129.000,- (dan ini terkatagori
miskin) ditambah kompsensasi peranggota keluarga sebesar Rp25 ribu, maka
kompensasi tersebut membuat pengeluarannya menjadi Rp154.000,-
perbulan. Dengan asumsi ini, orang yang semula terkatagori miskin pada
tahun 2005 menjadi tidak miskin pada tahun 2006. Sebab pengeluarannya
sebesar Rp154ribu berada di atas garis kemiskinan tahun 2006, yakni
Rp152.847,-. [20]
Model pengentasan kemiskinan dengan jalan seperti di atas jelas sangat
tidak realistis. Karena hanya melihat kemiskinan dari segi konfigurasi
angka pengeluaran perkapita agar tidak berada di bawah garis kemiskinan.
Bukan dari segi setiap warga negara harus dipenuhi kebutuhan primernya,
seperti pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan
keamanan.
Rendahnya standar kemiskinan inilah yang menyebabkan kemiskinan di
Indonesia terlihat rendah dan semakin menurun. Jika menggunakan standar
internasional $2 perhari, maka tingkat kemiskinan di Indonesia tahun
2005 sebesar 53,8% jauh lebih tinggi dari tingkat kemiskinan menurut
pemerintah sebesar 15,97%. Bahkan hasil penelitian LPEM UI tahun 2005
tidak terbukti terjadi pengurangan kemiskinan pada tahun 2006. Tahun
2006 justru terjadi kenaikan tingkat kemiskinan sebagai dampak kenaikan
harga BBM baik menurut pemerintah sebesar 17,75% maupun dengan standar
$2 perhari sebesar 62,35%.[21]
Jelaslah model pembangunan yang bertumpu pada politik pertumbuhan tidak
dapat memecahkan masalah kemiskinan. Model ini juga tidak mampu
menciptakan pemerataan sebab yang terjadi adalah penghisapan dan
ketimpangan. Sebagai contoh 42,76% pendapatan penduduk Indonesia pada
tahun 2005 hanya dinikmati oleh 20% penduduk berpendapatan tertinggi
sedangkan 20% penduduk berpendapatan terendah hanya menikmati pendapatan
sebanyak 8,34%.[22]
C. 3. Ketiga, pembangunan yang berpihak pada pasar
Dalam model pembangunan ini, pusat perhatian negara adalah pasar dan
investor bukan umat. Keberpihakan tersebut merupakan konsekwensi dari
ketergantungan pembangunan pada hutang dan investasi asing, serta
pandangan pasar dan investor sebagai lokomotif pertumbuhan.
Model pembangunan yang menjadikan pasar dan investor sebagai pusat
perhatian negara akan mendorong pemerintah melahirkan kebijakan dan
undang-undang yang bersahabat dengan pasar. Melalui pembangunan yang pro
pasar pemerintah melakukan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi sumber
daya alam. Dengan kata lain, pemerintah menerapkan ekonomi neoliberal.
Mengenai hal ini, Elizabeth Martinez and Arnoldo Garcia menyebutkan ada
lima kerangka kebijakan ekonomi neoliberal, yaitu pasar bebas,
pembatasan anggaran belanja publik, deregulasi, privatisasi, dan
penghapusan konsep barang publik.[23]
1. Pasar bebas
Pemerintah melakukan kebijakan yang membuka perekonomian nasional dan
meminimalisir rintangan yang menghalangi masuk dan keluarnya suatu
produk ke Indonesia. Dampak kebijakan pasar bebas adalah hilangnya
proteksi terhadap usaha-usaha ekonomi lokal dari serbuan produk impor.
Meski dampak pasar bebas akan merusak usaha-usaha ekonomi lokal,
pemerintah memandang pasar bebas sebagai jalan terbaik untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.
2. Pembatasan anggaran belanja publik
Pemerintah melakukan pembatasan pengeluaran dan subsidi untuk
pendidikan, kesehatan, listrik dan energi, transportasi dan
telekomunikasi, air bersih, infrastruktur dan layanan publik. Tujuan
sebenarnya pembatasan belanja publik adalah untuk menjamin kemampuan
pemerintah dalam membayar hutang dan menyerahkan sektor publik tersebut
ke swasta dan asing sebagai realisasi pasar bebas. Akibatnya harga
barang publik dan tarif layanan publik menjadi mahal.
3. Deregulasi
Melalui kebijakan deregulasi pemerintah menghapus peraturan-peraturan
yang menghambat pasar bebas dan investasi asing. Kemudian pemerintah
akan menerbitkan payung hukum baru yang akomodatif terhadap pasar dan
investasi asing.
4. Privatisasi
Sebagai realisasi penerapan ekonomi pasar, pemerintah melakukan
privatisasi baik terhadap BUMN, aset-aset milik negara, maupun terhadap
sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Melalui privatisasi pemerintah
akan menyerahkan kepemilikan harta milik negara dan milik umum ke
tangan swasta dana asing.
5. Menghilangkan konsep barang publik
Pemerintah akan membangun persepsi pentingnya partisipasi publik dalam
kegiatan yang semestinya menjadi tanggung jawab negara. Padahal yang
dimaksud pemerintah dengan partisipasi publik adalah pemindahan tanggung
jawab pengadaan barang dan layanan publik dari negara menjadi tanggung
jawab individu. Dengan kata lain, umat harus menemukan sendiri solusi
dalam pemenuhan kebutuhan mereka akan barang-barang publik
Model pembangunan yang liberal ini semakin mempercepat tingkat
penghisapan ekonomi dan memperlebar ketimpangan. Peran ekonomi yang
sebelumnya masih berada di tangan negara berpindah ke tangan swasta dan
asing. Di sisi lain, umat akan semakin sulit memenuhi kebutuhan
primernya karena semakin tinggi harga yang harus mereka bayar kemiskinan
riil pun semakin bertambah. Pada kondisi seperti ini, kriminalitas dan
keresahan sosial mewarnai kehidupan sehari-hari umat. Sedangkan pejabat
negara semakin tidak peduli pada umat, korupsi merajalela, dan
terjadinya “perselingkuhan” elit politik dengan pemilik modal.
D. Pendarahan APBN
Ketidakmandirian dalam pembangunan dan kesalahan model yang diadopsi
mengakibatkan pendarahan pada APBN. Sejak Orde Baru APBN telah mengalami
pendarahan sebagai akibat defisit anggaran dan ketergantungan pada
hutang. Adapun paska reformasi, kondisi keuangan negara justru semakin
parah.
Sejak krisis ekonomi tahun 1998 sampai periode 2012, APBN selalu
mengalami defisit. Tahun 1998, defisit APBN mencapai Rp16,2 trilyun.
Sedangkan pada tahun ini APBN mengalami defisit sebesar Rp190,2 trilyun.
Pada tabel defisit APBN dan Hutang di atas, jumlah cicilan hutang
pemerintah yang dibayar dalam APBN terus mengalami peningkatan selama
lima tahun terakhir. Dari Rp198,65 trilyun pada APBN 2008 meningkat
Rp91,06 trilyun pada APBN 2012 menjadi Rp289,71 trilyun.
Seiring dengan peningkatan jumlah cicilan hutang, jumlah defisit APBN
pun semakin bertambah besar. Akibatnya jumlah hutang yang ditarik
pemerintah setiap tahun semakin bertambah. Hal ini menunjukkan beban
cicilan hutang menjadi salah satu komponen utama yang menyebabkan APBN
defisit.
Dari data tersebut terlihat jelas APBN tersandera hutang. Penerimaan dan
pengeluaran APBN tidak berimbang yang dalam bahasa populer disebut
“lebih besar pasak daripada tiang”. Sedangkan langkah utama yang
ditempuh pemerintah untuk mengatasinya adalah dengan menarik hutang
kembali. Akibatnya kebijakan tahunan pemerintah dalam mengelola keuangan
negara hanyalah “gali lobang tutup lobang” saja.
Pada tabel cicilan hutang, jumlah cicilan bunga selama sepuluh tahun
terakhir mencapai Rp851,32 trilyun sedangkan cicilan pokoknya Rp1.050,36
trilyun. Ironisnya meski umat telah menanggung total cicilan hutang
sebanyak Rp1901,68 trilyun selama periode 2003-2012, jumlah hutang
negara bukannya berkurang tetapi justru semakin bertambah. Jika pada
tahun 2003 hutang negara mencapai Rp1.232 trilyun, maka sampai dengan
Maret 2012 hutang negara membengkak menjadi Rp1.860 trilyun.[24]
Jika beban cicilan hutang dihitung sejak tahun 1990, maka negara telah
menguras kekayaan umat sebesar Rp1.166,26 untuk cicilan bunga dan
Rp1.229,44 trilyun untuk cicilan pokok atau totalnya sekitar Rp2.395,70
trilyun. Dari grafik di atas nampak beban keuangan negara untuk membayar
cicilan pokok dan cicilan bunga terus bertambah. Pertambahan beban
cicilan mengalami lompatan tinggi sejak tahun 2006 hingga 2012.
Pada grafik tren pembayaran hutang dan jumlah hutang negara di atas
terlihat pola umum yang sangat paradoks. Grafik pembayaran hutang
menunjukkan tren yang terus naik dan diikuti dengan grafik jumlah hutang
yang terus naik pula trennya. Pola ini menunjukkan perilaku berhutang
pemerintah telah memasukkan Indonesia dalam perangkap hutang. Artinya
APBN tidak hanya tersandera hutang tetapi juga pemerintah tidak akan
pernah dapat melunasi hutang negara selama-lamanya.
Andaikan pemerintah mulai tahun 2013 berhenti menarik hutang baru, maka
hutang negara baru dapat dilunasi pada tahun 2050. Tapi hal ini tidak
mungkin. Sebab jebakan hutang dan model pembangunan Kapitalis yang
diterapkan mendorong pemerintah terus berhutang sehingga hutang negara
tidak akan pernah lunas selamanya.
Lompatan Solusi
Kegagalan pembangunan disebabkan oleh belum lepasnya negeri kita dari
cengkraman penjajahan dan kesalahan model pembangunan yang diterapkan.
Indonesia membutuhkan lompatan solusi dengan melepaskan ketergantungan
dan keluar pakem ekonomi Kapitalis. Indonesia harus membangun
kemandirian dan menemukan konsepsi pembangunan yang benar.
Tidak salah kiranya jika negeri kita melirik sistem khilafah sebagai
solusi. Cobalah pahami dan pelajari bagaimana sistem khilafah bisa tegak
selama 14 abad dan menjadi mercusuar dunia. Bagaimana Khalifah Umar bin
Abdul Aziz dapat mengentaskan kemiskinan hanya dalam waktu 3 tahun
pemerintahannya dengan wilayah yang meliputi Timur Tengah, Afrika Utara,
Spanyol dan Asia Tengah. [Jurnal Ekonomi Ideologis]
Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI adalah Ketua Lajnah Siyasiyah DPD I HTI
Kalsel dan Dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin
[1] Detik, Forum Rektor: Indonesia Menuju Negara Gagal,
http://news.detik.com/read/2011/02/04/155035/1560291/10/forum-rektor-indonesia-menuju-negara-gagal
[2]
TanahPapua.com, Pemerintahan SBY Gagal Sejahterakan Rakyat,
http://tanahpapua.com/index.php/Berita-Terkini/pemerintahan-sby-gagal-sejahterakan-rakyat.html
[3]
Kompas.com, Antisipasi Jangan Sampai Indonesia Menjadi Negara Gagal,
http://nasional.kompas.com/read/2011/10/26/23383313/Antisipasi.Jangan.Sampai.Indonesia.Jadi.Negara.Gagal
[4]
Versi online buku War and Peace bisa dibaca di
www.questia.com/read/34046074
[5] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa Ibnu
Sholah, cet. I, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), hal. 8.
[6] Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir Edisi
Mu’tamadah (Mafahim Siyasiyah li Hizbut Tahrir), alih bahasa M. Shiddiq
al-Jawi, cet. I, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2006), hal. 14-15.
[7] http://2001-2009.state.gov/r/pa/ho/frus/johnsonlb/xxvi/4436.htm
[8] Bradley R. Simpson, Economists with Guns: Amerika Serikat, CIA,
dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru, alih bahasa Johanes
Supriyono, cet. I, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal.
299-300.
[9] Ibid, hal. 311-312.
[10] Pendapatan perkapita diperoleh dengan cara membagi nilai PDB pada
tahun tertentu dengan jumlah penduduk pada tahun tersebut.
[11] BPS, Berita Resmi Statistik, Nomer 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012.
[12] BPS, Berita Resmi Statistik, Nomer 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012.
[13] BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi
Indonesia, Februai 2011.
[14] Derajat Penghisapan = (1-(pengeluaran perkapita/pendapatan
perkapita)) x 100%. Lihat Mubyarto (2003), Semangat Sumpat Pemuda
Menggugat Budaya Neoliberal,
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_2.htm
[15] Natural Resoucrce Curse.
[16] World Bank, World Development Indicators,
http://data.worldbank.org/
[17] BPS,
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1
[18]
Standar garis kemiskinan September 2011. Lihat BPS, Berita Resmi
Statistik, Nomer 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012.
[19] Mohamad Ikhsan, Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan: Tanggapan atas
Tanggapan,
http://kolom.pacific.net.id/ind/lain-lain/mohamad_ikhsan/kenaikan_harga_bbm_dan_kemiskinan:_tanggapan_atas_tanggapan.html
[20]
BPS, Berita Resmi Statistik, No. 47/IX/ 1 September 2006.
[21] Sumber data BPS dan Worldbank, World Development Indicators,
data.worldbank.org
[22] Worldbank, World Development Indicators, data.worldbank.org
[23] Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, What is
Neoliberalism?, http://www.corpwatch.org/article.php?id=376
[24] Sumber data hutang negara: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kementerian Keuangan RI, Perkembangan Utang Negara Edisi April 2012,
dmo.or.id
Diposkan oleh
riska kusumawati
di
02:11